Oleh: Atisatya Arifin
COBA TAFAKUR SEJENAK, apa yang membayang di benak kita, jika kita mengeja atau membaca kata sastra? Bagi sebagian orang, sastra adalah sesuatu yang aneh. Sesuatu yang menjemukan dan membosankan. Uniknya, tidak banyak di antara kata yang hobi membaca karya sastra, apalagi menulis sastra. Misalnya saja, lembar budaya di media suratkabar yang sering berisi puisi, cerita pendek, esai, dan opini. Paling yang dilirik orang adalah puisinya. Itupun karena sepintas terlihat ringan, singkat, dan padat. Membaca novel sastra, apalagi. Wow, tidak semua orang mampu melakukannya.
Saya sendiri sempat terperangah ketika ditodong sebuah pertanyaan oleh seorang teman ngobrol di dunia maya. Pertanyaannya, sebenarnya, sederhana saja. “Apa yang kamu ketahui tentang sastra?” Sewaktu SMA, saya mengambil jurusan Biologi. Otomatis, bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia bukanlah pelajaran favorit saya. Maka, tidak heran jika saya tergagap ketika ditodong dengan pertanyaan sepelik itu.
Bagaimana dengan kamu?
Rasa ingin tahu itu terus berkecamuk di benak saya. Akhirnya, saya tidak kuasa keinginan mencari tahu apa dan seperti apa wujud sastra yang sebenarnya. Ketika membuka halaman Wikipedia Indonesia, saya menemukan pengetahuan baru. Ternyata, sastra itu kata serapan, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Hanya saja, sastra dalam bahasa Indonesia lebih merujuk pada pada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Rasa dahaga itu tidak terpuaskan begitu saja. Perpustakaan pribadi pun segera menjadi korban, diacak-acak demi menuruti kata hati. Akhirnya, bersua jua pencarian itu. Sastra, dalam kacamata HB. Jassin, adalah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki beberapa ciri seperti keorisinalan, kerartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Sastra yang baik adalah sastra yang senantiasa mengandung nilai. Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra. Sastra yang baik harus mengandung tiga aspek dalam setiap karyanya, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada karya sastra yang mengorbankan salah satu dari aspek ini, maka sastra itu dikatakan kurang baik.
Lalu, bagaimanakah kondisi sastra Indonesia sekarang?
Di mata para pelajar, baik sekolah menengah pertama maupun atas, sastra adalah suatu hal yang menjadi momok. Pelajaran yang sebisa mungkin dihindari. Lucunya, banyak sekali siswa yang tiba-tiba bisa menulis puisi karena sedang jatuh cinta, bahkan bisa menulis surat cinta yang nyastra banget dan romantis habis. Namun, terlepas dari hal itu, sastra tetap sebuah fenomena yang menarik untuk diselusuri.
Pertanyaan mendasar yang perlu kita kemukakan adalah mengapa pembelajaran sastra tidak bisa membumi? Mengapa sastra tidak bisa populer di mata pelajar? Inilah yang perlu kita telaah bersama. Bagaimanapun, bahasa menunjukkan bangsa. Dan, bahasa yang bijak, sejatinya berasal dari tuturan kalimat yang runut, rentet, dan enak dibaca. Anehnya, semua kriteria itu bisa kita temukan pada sastra. Masalahnya, selama ini, pengajaran sastra di dalam kelas hanyalah sekadar formalitas kurikulum. Bukan sebuah perilaku sadar yang bisa mendorong siswa untuk lebih mencintai sastra, dengan belajar bagaimana mengapresiasi sastra, khususnya sastra Indonesia.
Siapa yang tidak kenal Naruto, ninja remaja dengan wujud setengah rubah yang ingin menjadi ninja terkuat di desanya, yang komiknya dibaca hampir semua lapisan masyarakat, mulai dari siswa sekolah dasar hingga dosen perguruan tinggi ternama. Mirisnya, siapa yang kenal dengan Mariamin, tokoh dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar? Atau puisi Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail? Kalaupun iya, mungkin hanya segelintir saja yang mengenalnya. Ini menunjukkan rendahnya apresiasi sastra bangsa Indonesia. Padahal, apabila seseorang telah mampu mengapresiasi sastra, ia akan ikut larut dalam kehidupan yang dialami pengarangnya, yang tertuang dalam karya ciptanya. Si pembaca akan berempati terhadap isi karya sastra tersebut, terbawa dalam suasana dan gerak hati dalam karya itu hingga pada akhirnya akan timbul rasa nikmat pada si pembaca.
Sebagian besar pelajar menganggap sastra adalah pelajaran yang membosankan, yang tidak harus dipelajari secara khusus di sekolah. Bandingkan dengan negara-negara lain, jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku selama tiga tahun, di Jepang dan Swiss 15 buku, siswa SMU di negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkan membaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal, pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda, selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judul buku sastra.
Lalu, apa yang menyebabkan apresiasi sastra di Indonesia kian merosot?
Kurikulum pendidikan saat ini (KTSP) sudah lebih bersahabat dengan sastra dibandingkan kurikulum terdahulu. Sebagai contoh, dalam pembelajaran sastra di SMP, kini sudah ada keterampilan (1) mendengarkan sastra, (2) berbicara sastra, (3) membaca sastra, dan (4) menulis sastra.
Namun, tetap saja siswa buta terhadap sastra. Ada apa gerangan? Meski kurikulum telah mendukung dan tidak lagi menganaktirikan sastra dalam pendidikan di Indonesia, ternyata para pendidik belum mampu mengimplementasikan sastra sebagaimana mestinya. Sejatinya, pengajaran sastra tentu berbeda jauh dengan pengajaran bahasa . Lantas, langkah apa yang harus diambil agar kondisi sastra Indonesia tidak makin terpuruk?
Pertama, guru sastra harus bisa memberikan wawasan yang luas mengenai sastra, khususnya sastra Indonesia. Guru diharap bisa menjadi teladan bagi siswanya untuk lebih mencintai
sasta. Bagaimana mungkin siswa bisa mengapresiasi dan mencintai sastra apabila gurunya sendiri tidak menyukai sastra?
Kedua, memperbanyak kegiatan sastra seperti lomba penulisan puisi dan cerpen, pentas pembacaan puisi dan drama, juga menyediakan media publikasi khusus sastra. Hal ini dilakukan agar pembelajaran sastra tidak hanya sebatas teori-teori di atas kertas, melainkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Bagaimanapun, jika seorang guru bahasa yang pun merangkap guru sastra, bisa memahami dan mengapresiasi sastra dengan baik, akan menumbuhkan cinta dalam dirinya, yang diharapkan bisa memancar ketika sedang mengantar pembelajaran sastra. Semoga.
Di luar institusi pendidikan, banyak lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan kemajuan dan pertumbuhan sastra. Sebut misalnya tumbuhnya banyak komunitas sastra, termasuk Kelompok Jakarta (KEJAR) Sastra. Komunitas dari beragam latar belakang usia, pendidikan, agama, dan status sosial ini memegang prinsip: menulis, membaca, dan mengapresiasi. Semua anggota komunitas memiliki kewajiban tidak tertulis untuk menghasilkan karya sastra, entah berbentuk puisi, cerpen, esai, bahkan novel. Karya sastra itu kemudian diposting di sebuah website Kemudian.com, lalu dibaca dan diapresiasi oleh anggota komunitas lainnya.
Sederhana memang, namun upaya ini adalah terobosan alternatif yang bi sa menjadi solusi di tengah semakin marjinalnya sastra bagi kalangan generasi muda. Lihat saja, 24 orang atau 36,92% dari 65 anggota komunitas KEJAR SASTRA adalah siswa SMP/SMA, sementara 21 orang atau 32,30% adalah mahasiswa. Sisanya, 20 orang atau 30,76% adalah pekerja/penganggur produktif dari berbagai latar profesi.
Memang, apa yang dilakukan oleh KEJAR SASTRA untuk memasyarakatkan sastra, belumlah ideal sesuai harapan bersama. Setidaknya, geliat baru untuk mencapai perubahan baru bisa mengemuka. Dan, seperti tutur orang bijak, langkah satu mil selalu dimulai dari langkah pertama.
Opini ini dimuat pada Harian Media Indonesia, 14 September 2008. Versi elektronik opini ini bisa dilihat pada Opini: Pelajar Jepang baca 15 buku, Indonesia nihil!
Leave a Reply